Selasa, 04 September 2012

Penipuan Pada Program Sertifikasi Guru: Siapa yang harus disalahkan?


  Program sertifikasi guru yang telah dilakukan sejak 3 tahun terakhir 2006-2008 telah dilaporkan terjadinya penipuan yang amat sangat memalukan. Penemu7an dari tim monev independent mengenai Program sertifikasi guru (kuota 2006-2008) telah terjadi pemalsuan sertifikat dalam pengusulan portofolio guru secara besar-besaran (Kompas 9 April 2009). Salah satu dari ketiga komponen yang dinilai dalam portofolio yaitu keterlibatan guru dalam memalsukan dokumen tentang keikutsertaan mereka dalam forum-forum ilmiah, pengalaman mengikuti organisasi pendidikan dan sosial kemasyarakatan dan penghargaan yang berkaitan dengan pendidikan. Khususnya Tim Monev mencurigai keaslian nama, tanggal dan tanda tangan dari sertifikat seminar, workshop dan Training yang diikuti oleh para guru yang dilampirkan dalam portofolio.
Namun, saya sebagai salah satu assessor yang terlibat dalam pemeriksaan portofolio (periode 2006-2008) saya menemukan komponen-komponen lainnya yang dipalsukan yakni; kualifikasi akademis dan pengalaman mengajar dan Rencana Pembelajaran. Diklat, kondite guru, prestasi akademik, dan pengembangan profesi Juga tidak terlepas dari pemalsuan yang juga ditemukan oleh assessor lain.
Tentulah ini merupakan suatu kejadian yang sangat memalukan dan memberikan dampak buruk terhadap guru-guru yang masuk dalam daftar tunggu kuota selanjutnya. Bila tidak diambil langkah yang tegas, maka sepertinya proses sertifikasi tahun ini akan terjebak pada permasalahan yang sama dan akan mencoreng wajah pendidikan di Indonesia.
Meluasnya penggunaan sertifikat palsu menandakan guru-guru tidak mempunyai kesempatan untuk mengikuti forum-forum ilmiah dan/atau kurang percaya diri untuk mengembangkan kemampuan diri mereka dalam forum diskusi ilmiah. Sehingga mengakibatkan mereka tidak mempunyai dokumen sah yang dibutuhkan sebagai prasyarat dalam portofolio.
Namun, sejauh pengetahuan saya tidak semua guru melampirkan dokumen palsu dalam portofolio mereka. Ini memperlihatkan bahwa kehadiran mereka hanya sebagai peserta pasif dalam seminar-seminar. Namun beberapa dari mereka menjadi penyampai materi di tingkat nasional dan internasional. Ini menggambarkan bahwa sesuai fakta yang ditemukan guru-guru kurang memiliki kesadaran untuk melakukan penelitian, mereka memfokuskan diri untuk mengajar dan mengabaikan kepentingan penelitian yang merupakan bahagian dari pengembangan karir mereka. Selain itu mereka juga kurang peduli atas pentingnya melakukan penelitian dan mempresentasikan hasil penelitian mereka di forum diskusi ilmiah.
Ini adalah kejadian yang sangat ironis dimana guru yang seharusnya menjadi model pembelajaran bagi siswa mereka memberikan contoh yang buruk dengan melakukan penipuan dalam usaha mereka untuk mencapai pengakuan professional. Dalam pola hidup kita yang menganut paham menghormati dan meniru prilaku orang yang lebih tua, guru diposisikan sebagai orang yang harus dihormati dan dicontoh (digugu dan ditiru) dihormati dan dipercaya walau apapun kondisi yang dihadapinya.
Akan tetapi sangatlah tidak bijaksana untuk menyalahkan guru sepenuhnya. Hal ini dapat dipandang dan dimengerti sebagai cara guru-guru untuk melampiaskan dan memberitahukan keputusasaan mereka atas kurangnya penghargaan pemerintah dan masyarakat pendidikan atas lamanya pengabdian yang telah mereka berikan bagi dunia pendidikan. Guru –guru mendapat gaji yang rendah; kurang dihargai; kurang mendapat pengakuan, dan usaha mereka untuk melakukan pengembangan diri sangat kurang didukung.
Akan tetapi, di luar kontroversi ini program sertifikasi ini harus dilihat sebagai usaha keras pemerintah untuk meninkgatkan keprofesionalisasian guru di Indonesia. Program ini dapat dijadikan ajang bagi guru untuk bersaing secara sehat dengan menampilkan bagaimana mereka telah memberikan kontribusi untuk dunia pendidikan melalui profesi mereka.
Guru-guru juga harus ingat bahwa prestise dari keprofesionalitasan mereka tidak hanya dapat dinilai oleh selembar kertas yang berupa sertifikat. Dan yang paling penting adalah untuk mendapatkan keprofesionalisan itu adalah sebuah jalan yang tak pernah berakhir dan membutuhkan pengabdian dan komitmen seumur hidup terhadap suatu jalan yang telah kita pilih.

Soetiono Sugiharto
Editor Kepala Indonesian Journal of English Language Teaching
Atmajaya Catholict University, Jakarta

(Terjemahan bebas oleh Cut Deni Fitri Nadia, SH, MA dari artikel di Jakarta Post, tanggal 16 Mei 2009 hal 7: “Fraud in Teacher Certification Program: Who’s to blame?”)

Jumat, 27 Juli 2012

WISATA DANAU RAKIHAN

         Disanalah sebuah danau. Danau indah diatas pegunungan. panaroma pegunungan yang juga begitu indah menuntun diri bertasbih bersama bisik angin yang menyapa lembut dedaunan. Airnya yang begitu tenang dan kebiruan sungguh memikat hati untuk berkayuh sampan diatasnya. Itulah Danau Rakihan. Danau Indah yang beriaskan pohon - pohon hijau yang begitu sejuk mengelilingnya. Hhh... sayang sekali saya tidak membawa kamera yang memadai.



       Danau Rakihan ini adalah danau terbesar kedua di Kabupaten OKU Selatan setelah Danau Ranau. Dari keterangan masyarakat setempat, nama danau rakihan diambil dari nama leluhur masyarakat setempat Syech Saidi Rakihan. Danau dengan luas kurang lebih 3Ha dan memiliki kedalaman sekitar 75 meter ini terletak di desa Ulu Danau dan merupakan salah satu ikon di kecamatan Sindang danau ( Pemekaran Kecamatan Pulau Beringin ), Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan.
Danau rakihan berada diatas puncak pegunungan, di pinggir jalan lintas. Bentuknya seperti kuali. Danau ini dapat ditempuh lebih kurang 4 jam perjalanan dari kota Muaradua. Ada jalan setapak yang berada diatas pegunungan yang mengelilingi danau tersebut. Panaroma yang terasa begitu indahnya saat memandangnya dari atas jalan. Air kebiru biruan yang begitu sejuk dan tenang, dikelilingi oleh bukit hijau pada pegunungan yang mengitari danau dengan semilir angin menyapa lembut pepohonan. Begitu terasa kebesaran Allah saat mentadaburi alam ini.